Arsip

Archive for November, 2010

Ngungsi (bag.1)

23 November 2010 2 komentar

Sungguh manusia tak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang. Tak sedetikpun. Seperti halnya pengalaman ngungsi yang aku [dan banyak warga lereng Merapi] alami. Merupakan sebuah sejarah karena ternyata dari berita orang yang sudah sepuh [dan masih hidup] baru kali ini letusan Merapi begitu besar dan kali ini pula mereka terpaksa harus ngungsi. Marilah kita simak penuturan pelaku ngungsi [penulis-red] yang dihimpun oleh penulis langsung.

Rabu 3 November 2010.
Merapi mulai mengeluarkan suara gemuruh sepanjang hari. Awalnya sempat khawatir juga karena hampir belum pernah mendengar merapi bergemuruh sepanjang hari, siang dan malam. Masih selalu berdoa agar diberi keselamatan.

Kamis 4 November 2010
Merapi masih mengeluarkan suara gemuruh. Bahkan semakin keras. Masih selalu berdoa diberi keselamatan.

Pukul 18.30 wib terlihat hujan abu di desaku. Ba’da isya’ abu semakin tebal sementara suara gemuruh tak berkurang. Jendela-jendela kaca bergetar.
Pukul 22.00 wib terjadi gempa yang mengakibatkan aku dan keluargaku keluar rumah. Harap-harap cemas duduk di teras rumah dengan perasaan was-was. Menahan kantuk yang masih menyerang demi kewaspadaan sambil mempersiapkan motor.

Jumat 5 November 2010
Pukul 00.00 wib suara gemuruh makin menjadi, hujan abu masih terjadi.
Pukul 00.15 wib terjadi gempa diikuti hujan abu yang lebat dan suara kerikil jatuh di genteng. Suasana panik, motor dipersiapkan untuk meluncur dan mendadak listrik padam. Suasana semakin mencekam. Dengan membawa perbekalan seadanya, rumah dikunci seperlunya kami sekeluarga langsung meluncur ke daerah selatan tepatnya arah kecamatan Tempel. Sepanjang perjalanan banyak orang sudah mulai berjalan menuju ke arah selatan. Ada tangis terdengar diantara rombongan pengungsi. Setiap keluarga memikirkan keluarga masing-masing.
Pukul 01.00 wib sampai di balai desa Margorejo. Sudah banyak kerumunan orang disana. Balai desa memang belum disiapkan untuk tempat pengungsian. Warga berteduh diantara emperan dan ruang balai desa. Hujan abu semakin deras. Suasana mencekam tak ada penerangan, listrik padam. Hanya bisa menunggu hingga fajar tiba. Suara gemuruh masih juga terdengar sampai mendekati fajar.
Pukul 04.00 wib kondisi mulai mereda. Kami pulang ke rumah masing-masing. Pasrah apapun yang terjadi nanti. Sepanjang perjalanan abu tebal menjadi alas ban sepeda kami. Pohon-pohon salak merebah menutupi gang-gang sempit, rumpun bambu patah dan ada pula yang ambruk. Benar-benar suasana berbeda dari semalam. Hanya bisa beristighfar.
Pukul 04.10 wib sampai di desa. Benar-benar berubah, wajah yang dulu elok kini berantakan. Jalan gang menuju rumahku tertutup pohon salak yang rebah. Tak bisa langsung menembus. Sementara aku mampir di masjid sholat subuh. Terasa sesak dada ini, teringat semua dosa dan kesalahan. Mungkin karena itu bencana ini terjadi. Habis subuh siap bekerja memotong dahan-dahan salak yang rebah untuk membuat jalan setapak.
Pukul 05.30 wib sampai di rumah. Alhamdulillah rumah masih berdiri tegak sebagaimana rumah-rumah lain di desaku. Hanya pohon salak yang roboh dan tebalnya abu mengubah warna desaku. Tak bisa berlama-lama di rumah. Merapi membumbungkan awan tebalnya ke atas. Bergulung-gulung. Hujan abu masih turun. Hanya sempat membersihkan diri dan mempersiapkan beberapa keperluan untuk mengungsi. Sudah dimantapkan bahwa kami harus mengungsi, meskipun ada beberapa orang yang bertahan. Tapi bagi kami menyelamatkan diri lebih utama. [bersambung]

Potensi Diri

19 November 2010 Tinggalkan komentar

Suatu waktu di suatu tempat terjadi dialog :

“Ayah..besok kalo aku udah gede mau jadi pilot.biar bisa kemana-mana.” kata seorang anak kepada ayahnya. “Iya kamu pasti bisa” jawab ayahnya.

di tempat yang lain juga terjadi dialog :

“Abi, aku pengen jadi penghafal Al-Quran..” kata seorang anak kepada bapaknya. ” Insya Alloh, abi bantu doain Nak” jawab bapaknya.

Tempat lain tak luput juga terjadi dialog :

“Simbok, mbenjang kulo pengen dados juragan lombok ” kata seorang anak desa kepada ibunya. ” Iyo Ngger mugo2 kasembadan” jawab ibunya.

Eh, di tempat yang lain lagi-lagi terjadi dialog :

” Pak masak kita cuma bisa jadi pengais sampah, besok aku pengen jadi pengepul sampah ah biar meningkat” kata anak yang bapaknya seorang pengais sampah. ” Baiklah Nak jika itu sudah menjadi tekadmu” kata sang bapak.

Satu lagi di tempat yang lain dari yang lain terjadi dialog pula:

” Bu, besok gede aku pengen jadi anggota DPR, biar bisa ke luar negri terus” kata seorang anak kepada ibunya. ” Aduh Nak, gak ada pilihan lainkah di hatimu” jawab ibunya khawatir. Sang anak berpikir lagi lalu berkata ” ya udah deh kalo gitu aku jadi ketuanya DPR saja..”

———————————o0o——————————–

Ketika kita membaca biografi orang-orang besar, seringkali kita berpikir “kok bisa ya mereka seperti itu”. Lalu akan muncul pertanyaan “bisakah aku menjadi seperti itu?”. Setiap kisah yang menginspirasi [inspiring story] akan membuat kita berpikir apakah bisa mengikuti jejak langkah mereka. Terkadang kita menjadi kurang yakin dan berkata bahwa memang orang-orang tersebut adalah orang-orang yang hebat. Padahal setiap kita sebenarnya punya potensi yang sama dengan mereka.

Mari kita renungkan. Berapa jam sehari waktu mereka dalam sehari? 24 jam seperti kita bukan? Apa sih yang mereka makan? Bukankah sama dengan kita, masih seputar karbohidrat, protein, lemak, vitamin. Apa yang mereka hirup? Bukankah masih udara yang kita hirup juga. Dan masih banyak hal lain yang sama, yang menandakan bahwa sebenarnya kita punya kemampuan yang sama dengan mereka. Lalu mengapa kita harus meragukan diri sendiri. Kita harus yakin bahwa kita bisa seperti mereka. Kunci utamanya adalah keyakinan, usaha dan doa.

Mereka bisa menjadi seperti yang kita kagumi bukan tanpa hambatan. Mereka terbiasa melalui cobaan demi cobaan, mereka hafal betul dengan ejekan dan sindiran. Mereka pun tak jarang dihadapkan pada kondisi yang sulit, lingkungan yang tidak mendukung dan semangat yang kadang naik-turun. Namun yang pasti setiap mereka punya keyakinan bahwa AKU BISA. Mereka adalah orang-orang yang menanamkan dalam diri mereka bahwa perubahan tak akan terjadi tanpa ada keyakinan yang kuat dan usaha yang terus-menerus serta disertai keyakinan bahwa Sang Pencipta pasti menolong hamba-Nya yang berusaha.

Perhatikanlah perkataan ini :

“Setiap kita dibekali bakat dan kemampuan yang sama. Tinggal bagaimana kita mengolahnya untuk membentuk kita menjadi seperti apa.” ~MzT~

Jika kita ingin berhasil dan menjadi orang sukses, perkuat keyakinan kita, pertegas langkah kita dan pertebal keimanan kita. Salam Sukses !!!

*Bunder, jam 2 kurang 3 menit.

Bencana : Penyeimbang Kehidupan

19 November 2010 Tinggalkan komentar

Banyak bencana akhir-akhir ini di Indonesia. Mulai dari banjir, gempa, tanah longsor, tsunami sampai gunung. Kesemuanya merupakan suatu pertanda dan peringatan dari Alloh SWT bagi kita, bahwa mungkin selama ini kita telah berbuat tak adil terhadap alam. Dan kini alam menagih keadilan kepada Sang Pencipta lalu Dia memperkenankannya. Memandang bencana memang berbeda-beda antara manusia satu dengan yang lain. Ada yang memandang bahwa bencana merupakan kejadian alam biasa dan siklus normal kehidupan. Ada pula yang memandang bencana sebagai sebuah peringatan bagi manusia untuk segera berbenah diri memperbaiki hubungan manusia dengan Alloh dan alam sekitarnya. Ada pula yang memandang bencana dari sisi mistis.

Mari kita tengok, betapa alam  telah dikuras [eksploitasi] tanpa batas sehingga alam kehilangan keseimbangannya. Semisal bukit-bukit dan sungai-sungai sepanjang lereng gunung dikeruk setiap hari tanpa mengenal kata berhenti. Saking rakusnya, lereng-lereng dan tebing-tebing diruntuhkan lalu diambil pasir dan bebatuannya. Alam pun mengalami ketidak seimbangan. Suhu memanas, vegetasi rusak dan hewan pun terusir dengan paksa. Lalu gunung memuntahkan isi perutnya untuk menutup kembali lubang-lubang galian, menyediakan tanah yang subur untuk tempat tumbuhnya vegetasi [yang juga merupakan tempat hidup hewan-hewan]. Sementara itu manusia dipaksa terusir dan meninggalkan tempat kediamannya.

Bencana yang merusak perkampungan-perkampungan, meluluh-lantakkan rumah-rumah dan kebun-kebun tanpa pandang bulu. Entah itu rumah dan kebun si miskin atapun rumah dan kebun si kaya. Semua musnah dan hancur, manusia dikembalikan ke posisi awal, bahwa mereka tak punya apa-apa lagi. Boleh jadi ini merupakan teguran bahwa selama ini manusia sejatinya hidup individualis. Yang kaya semakin kaya, sementara yang miskin semakin menderita. Yang kaya tak mau membantu yang miskin bahkan dengan angkuhnya menyalahkan si miskin bahwa kemiskinan mereka karena tak mau berusaha. Dengan bencana ini kita diperingatkan bahwa ketika semua hancur dan musnah, apalagi yang dipunya. Yang kaya, apa yang dibanggakan, semua miliknya musnah, justru mereka semakin sedih merasakan besarnya kerugian. Sementara yang miskin juga merasa sedih harta yang sedikit itu pun lenyap. Manusia kembali diseimbangkan bahwa mereka harus mulai dari NOL lagi.

Bencana juga merupakan teguran bagi kita. Barangkali telah banyak kemunkaran dan kejahatan yang terjadi di masyarakat kita. Sementara kita hanya berdiam diri melihatnya. Tanpa menegur, tanpa memperingatkan dan tanpa rasa kecewa melihat itu semua. Kita kembali disadarkan bahwa untuk bisa hidup dengan baik maka kita harus bisa menyeimbangkan diri dengan alam. Lihatlah, gunung yang tinggi menjulang, diamkah ia? Laut yang berdebur, diamkah ia? Pohon-pohon yang berdiri tegak, diamkah mereka? Burung-burung dan hewan lain yang bernafas, membisukah mereka? Sama sekali tidak. Gunung yang berasap, Laut yang berombak, Pohon yang melambai, burung-burung  berkicau dan hewan-hewan yang berkeliaran mereka semua bertasbih mengagungkan Nama-Nya. Tak satupun yang luput dari tasbih-tasbih tersebut. Hanya kita manusia yang seringkali lupa. Maka Alloh-pun mengingatkan kita melalui hamba-hamba-Nya yang bernama gunung, tanah, laut, angin, pohon dan alam secara keseluruhan.

Bencana terjadi bukan karena alam yang tidak bersahabat. Bencana terjadi karena ulah tangan manusia yang seringkali lupa bahwa Dia Maha Kuasa di atas Segalanya. Dan bencana bukanlah sebab rusaknya lingkungan, melainkan bencana merupakan penyeimbang alam.

* Bunder, 14 km dari puncak Merapi, berteman secangkir kopi, laptop dan kesunyian.

Anak-anak Bicara Cinta

19 November 2010 Tinggalkan komentar

*mading TPA, Nglarang, Mlati

Kategori:Bait Tag:, , , ,

Hati yang Berdebu

18 November 2010 1 komentar

Hati
Hatiku yang satu
Berdebu
Warna Kelabu

Entah bagaimana
Membasuh pekatnya
Kusapu
Sedetik lalu kembali

Ah hati
Bukankah kamu pemimpin diri ini
Tolong jangan manja
Plissss

 

* Beran, suatu siang

Kategori:Bait Tag:, , ,